Minggu, 14 Februari 2010

Di mana kehangantan itu bersembunyi...

Malam yang hening, ricik air kanal di depan rumah dan bunyi jangkrik tak Ia dengar lagi malam itu. Hanya pertengkaran yang Ia dengar. Pertengkaran yang tak pernah usai, terus terulang dan terulang. Tak ada yang mau mengalah, semua merasa benar. Bocah kecil itu menangis digendongan Ibunya. Lampu ublik yang menempel di dinding papan ruang tamu rumah itu, yang menjadi saksi bisu pertengkaran orang tuanya. Berkali-kali kursi tua reot itu menjadi korban luapan amarah bapak ibunya. Dibalik gendongan ibunya bocah itu mengigil, menangis tanpa suara, mendelik ketakutan mendengar suara yang meledak-ledak seakan memecah gendang telinganya. Ia tak tau yang Ia rasakan. Ia tak tau yang Ia pikirkan. Ia tak tau yang ia takutkan. Bocah laki-laki bertubuh mungil itu, hanya tau ibunya benci bapaknya.

Ia tersentak ketika rambut ibunya dijambak bapaknya. Ibunya terjatuh, Ia tertindih, Ia merasakan sakit. Mungkin ibunya juga kesakitan. Air matanya membasahi punggung ibunya. Ia ketakutan mendengar teriak ibunya, teriakan memilukan dan ngenes membuatnya merinding . Ia mau pergi tapi tak bisa. Jarik ciut usang itu mengikat tubuhnya, sampai Ia tak mampu melepaskan diri. Seakan jarik ciut itu menginginkan Ia menjadi saksi hidup pertengkaran itu. Ia tak tau mengapa bapak ibunya bertengkar. Ia hanya mendengar celoteh Ibunya.

”Bunuh saja aku, dari pada kau siksa seperti ini” seloroh ibu nya dengan nada tersendat.

”Pergilah dengannya kalau itu yang kau ingikan. Aku dan anakmu rela. Lebih baik hidup tanpa suami dari pada makan hati” ucap ibunya sambil beranjak dari lantai tanah yang lembab.

Ia melirik bapaknya yang duduk diam di kursi reot dengan wajah garang dan mata memerah. Ia terus melirik wajah bapaknya. Ia ingin melihat senyum bapaknya. Ia ingin dipangkuan bapaknya yang selalu menceritakan kisah kancil mencuri timun dan kijang makan kacang, yang selalu diulang-ulang. Tapi malam itu bukan miliknya, ia tak mendapatkanya.

Ibunya duduk di amben bambu dan memeluknya dengan erat, matanya sembab dengan air mata. Bocah itu mendengar bunyi pintu yang dibanting. Mungkin bapaknya yang membanting pintu itu. Mungkin juga bapaknya tidak akan menceritakan kancil mencuri timun dan kijang makan kacang lagi.

”Ibu jangan menangis... Ibu jangan menagis...” ucap bocah itu dengan nada tersendat. Ibunya hanya diam, terisak, bersandar didinding papan, hanya lampu ublik yang menempel di dinding itu, yang setia menerangi hidupnya.

”Bila sudah besar nanti, jangan pernah kamu meniru kelakuan bapakmu. Ia, orang yang tidak bertanggung jawab, bisanya hanya menyiksa perasaan Ibumu ini. Tidurlah... jangan pikirkan bapakmu” ucap Ibunya sambil membelai rambutnya. Malam itu Ia tidur dengan rasa sakit yang Ia tak tahu dimana rasa sakit itu bersembunyi. Ibunya tidur berselimutkan dendam, amarah dan kebencian yang bersarang dihatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar