Sabtu, 13 Februari 2010

Gejolak Jiwa

Dalam sekejap perasaan manusia selalu berubah-ubah.
Sekejap muncul perasaan menderita,
perasaan serakah menginginkan sesuatu yang berlebihan,
perasaan menindas yang lemah dan menjilat yang kuat,
perasaan tidak mau kalah dengan siapa saja dan merasa paling hebat,
Dalam sekejap perasaan hati kita bisa tenang sehingga mampu melihat sesuatu dengan hati dan pikiran yang jernih.
Dalam sekejap pun, kita bisa merasa gembira, bahagia dan merasakan segalanya serba indah dan menyenangkan.
Kita juga bisa merasakan keinginan yang kuat seakan tak bisa padam untuk mengetahui dan mempelajari sesuatu,
Kita bisa disadarkan oleh sesuatu hal yang kecil sehingga kita bisa merasa seolah-olah kita sudah tahu segalanya.
Dalam sekejap pula kita muncul perasaan mengasihi dan memikirkan orang lain.
Tetapi, sungguh sulit memunculkan perasaan yang tidak terikat, bebas dan suci...

Redup... Layu... dan Musnah...

lihatlah, nyala lilin yang sudah kembang kempis ini
tengoklah se untai mawar putih layu yang sebentar lagi gugur ini
lihatlah sungai kering yang tak menyisakan se tetes air pun
lihatlah sawah-sawah yang bongkah itu...
apakah kau melihat semuanya?
darimana kau bilang akan ada kehidupan yang panjang di sini?
darimana?

bukankah itu hayalan belaka...
bukankah itu mimpi kosong semata...
bukankah itu hanya harapan hampa...
bukankah itu lamunan semu tak ada wujudnya...

ahk...
terlalu jauh kau memimpikanya...

ya...
aku melihat semuanya...
aku pun melihat sumbernya...
sumber yang akan memusnahkan segalanya...
jiwamu yang redup dan layu itulah yang akan memusnahkan segalanya...

ya...
jiwamu...
kau bagai manusia yang hidup dalam kematian...

Thx my friand

kau tak beranjak tapi kau telah pulang...
kemana kau pergi selama ini? padahal kau tetap di sini...
kau tlah kembali walaupun kau tak pergi...
kini kau tlah di sini walaupun kau memang tetap di sini

senyummu tlah kembali, tawamu tlah hadir di sini

secangkir kopi tlah lama menanti...
asbak kayu ini tlah lapar menunggu putung rokok kita...
tembok dan ruang ini tlah dahaga ingin menghisap asap rokok kita
kini mereka tersenyum mendapati kita seperti biasanya... ha ha ha...

kini kita seperti biasanya... ngopi, ngrokok dan bercerita...

friand...

I miss U

dahulu kau ucap semua yang kau ingin ucap
dahulu tak ada kata yang tersembunyi dibalik bibirmu
dahulu tak ada waktu untuk tak berdua
dahulu kita bisa melakukannya...

kini kita tetap bersama, duduk berdampingan
kini kita tetap minum kopi berdua
kini kita tetap bergurau, bercanda dan tertawa
kini kita tetap ngobrol dan bicara

tapi kenapa kita diam, kita bisu, kita beku
tapi kenapa...?

kini kita tetap bersama, duduk berdampingan
kini kita tetap minum kopi berdua
kini kita tetap bercengkrama dalam canda tawa
kini kita tetap ngobrol dan bicara

rasanya sudah tak mampu lagi bibir ini berkata
rasanya sudah tak mampu lagi bibir ini berucap
rasanya sudah tak sanggup lagi bibir ini bertutur
rasanya sudah tak sanggup...

kini kita tetap ngobrol dan bicara
kini kita tetap minum kopi berdua
kini kita tetap bercengkrama dalam canda tawa
kini kita tetap seperti biasanya...

tapi kenapa kau diam, kau bisu, kau diam tak berkata
kenapa kau diam, kau bisu, kau diam tak berkata
kau bisu kau diam tak berkata
kau diam tak berkata

kini kita tetap seperti biasanya....

f sm one

senyummu...

detak tak beraturan, tak menentu menggoncang-goncang rasa...
rasa yang tak menentu ... gundah... gelisah... tak karuan...
tak karuan rasanya rasa ini ...
kemana kan kau bawa rasa ini pergi...
pergi tanpa arah... pergi tanpa tujuan...
mengikuti bayang semu wajah manismu...

tatap matamu yang hangat, senyummu yang ramah.
ahk... itu hanya ilusi...
kau tersenyum menatap q dengan penuh rasa...
rasa apakah yang kurasa...
tak tau...hanya ada rasa...

selembar kertas putih ini, kini tak kosong lagi....
wajah manismu... tatap matamu... senyum ramahmu...
selalu menyapa aku dengan rasa...

tersenyumlah... agar damai rasa ini...
tersenyumlah walau itu hanya ilusi...
tersenyumlah walau itu tak pasti...
tersenyumlah walaupun kau tetap bayang semu
dan tersenyumlah walau itu tetap saja ilusi...

f u Rny...

di persimpangan jalan...

tujuh hari tujuh malam...
kau lewati badai yang menerpa tubuhmu...
kau lewati terik yang menyengat kulitmu...
kau lewati terjalnya jalanan berbatu...

kau lewati tanpa satu pun keraguan di hatimu...
kau lewati tanpa satu pun kegelisahan di hatimu...
kau lewati semua dengan wajah yang menantang mara bahaya...
tak ada sedikit pun rasa ragu... rasa takut... rasa bimbang...

tujuh hari tujuh malam...
tubuhmu bercampur dengan keringat, debu dan badai...
kau tetap tegar melaluinya...
kau tetap yakin menapakinya...

langkahmu yang semula tak bisa dihentikan oleh siapapun dan oleh apapun...
seketika terhenti oleh petir yang menyambar di depanmu...
matamu mengerjap ketika kau dapati dirimu talh tiba di persimpangan...
keberanianmu luluh... meleleh... tak tau arah mana yang kan kau tempuh...

kau mendekam dalam persimpangan yang entah kapan kau miliki keyakinan tuk melewatinya...

tujuh hari tujuh malam kalalui badai...
kini kau terhenti di persimpangan....

Ibu... kudapati kau disini

ibu aku merindukan kerut dahimu...aku merindukan tawa kecilmu...
aku merindukan harum khas keringat yang melekat dibajumu...
aku merindukan itu ibu...

kau rengkuh, kau dekap aku dalam pelukmu kala itu...
kau usap rambut kumalku yang bercampur debu...
kau perlihatkan pelangi yang mewarnai langit biru pagi itu...

ibu... kau memang tak disampingku... kau memang jauh dariku...
ibu... di sini aku merasakan rengkuhan, dekapan dan sayang itu...
aku merasakan kehadiran ibu...

ibu... kau telah membangunkan tidurku...
kini aku talh berjalan menapakan kaki kecil ini...
aku akan mencarinya ibu...
aku akan mendapatinya ibu...
aku akan meraihnya ibu...

ibu... terima kasih tlah membangun kan tidurku...

hujan, awan putih dan angin...

hujan tak kunjung datang hari ini...
awan putih tak menampakan dirinya...
angin sepoi pun enggan tuk tebarkan kesejukannya...
kemana kau pergi hari ini tanya ku dalam hati...

hujan tetap tak kunjung datang...
awan putih pun tak nampak lagi...
apa lagi ngin sepoi...seakan ia malas tuk tebarkan kesejukannya
kini aku bertanya apa yang sedang terjadi padamu...

biasanya angin selalu memberi kabar
kenapa hujan tak kunjung datang
biasanya angin selalu memberi kabar kemana sang awan putih pergi...
yach... itu biasanya...

kini aku bertanya...kenapa yang biasanya tak terjad, kini terjadi...
ingin ku bertanya pada angin tapi dia sepertinya sedang malas menjawab...
ya sudah aku akan menunggu angin kembali menebarkan kesejukannya...
agar hujan, angin dan awan putih kembali menari-nari... bernyanyi dengan riang...
ya akan aku tunggu ia datang lagi...

Bermain Layang-Layang

ku lihat bocah kecil itu duduk diam terpaku
ia tatap untaian benang merah yang melayang-layang di udara
tubuhnya menggigil menahan isak tangis
tak henti-hentinya air mata itu menitik

kakek tua berjenggot putih menhampirinya
penuh kasih sayang sang kakek membelai rambut bocah itu
sang kakek mencoba menatap untaian benang merah yang melayang disapu angin
sang kakek menundukkan kepalanya, ia pangku bocah itu

ku hampiri mereka dengan penuh tanya,, kenapa sang kakek tadi menundukkan kepala...
kusodorkan air putih di dalam botol bambu tempat minumku ke bocah kecil itu
dengan napas tersendat-sendat ia meneguk setitik demi setitik air itu
sang kakek menyuruhku duduk disampingnya

kakek itu mengatakan sesuatu yang aku tak tahu apa maksudnya
"Bocah ini menangis, layang-layangnya putus
ia tak ingin layang-layangnya terbang tinggi
ia tak ingin layang-layangnya lepas
ia menarik sekuat mungkin benang merah itu
ia tak tahu kerasnya angin tak bisa dilawan
jika kau ingin layang-layang itu tetap kau milik
biarkan ia terbang tinggi
jangan pernah menarik untaian benang merah itu
karena layang-layang itu milik angin, bukan milikmu
tapi kau bisa mendapatkan layang-layang itu"

lalu kakek itu pergi
ia gendong bocah kecil
aku tetap duduk tak mengerti
mungkin hanya kakek itu yang mengerti...

Ambisi

semua orang pasti punya AMBISI.
saya kaget ketika teman saya bilang,
"banyak orang yang tidak terbuka, tidak mau jujur terhadap dirinya sendiri"
saya tanya, tidak terbuka dan tidak jujur seperti apa? dia menjawab,
"tidak sedikit orang yang sebenarnya punyai AMBISI besar tapi menutupinya"
"contohnya, ingin jadi seorang pejabat, ingin jadi seorang seniman, ingin belajar ini, ataupun ingin punya pacar yang cantik. tapi karena sesuatu, entah itu tekanan, tuntutan atau desakan, seseorang menutup AMBISInya"
saya bertanya lagi, memang kenapa kalau menutupi AMBISI?
"hidupmu tidak akan puas" jawabnya. aku agak tersentak mendengar jawabanya, namun aku tetap mendengarkan dia.
"orang yang hidupnya tidak puas akan terus menuntut" lanjutnya.
"seharusnya bagaimna? tanya ku.
"coba kalau kamu mengakui AMBISI kamu, pasti kamu akan lebih semangat, punya target, punya rencana untuk meraihnya" ucapnya sambil berlalu.
setelah itu, saya bertanya pada diri saya sendiri.
"apakah saya sudah terbuka, jujur dan berani mengakui AMBISI saya sendiri?"
saya tidak bisa menjawab, hanya bisa mengelus dada.

Sahabat

kawan... malam itu sering kita lalui bersama
segenap rasa kita curahkan bersama
segenap lara kita rasakan bersama
segenap bahagia kita rasakan bersama

kawan... ingatlah malam itu...
betawa indahnya pertengkaran kita...
betapa beartinya caci maki kita
betapa beartinya celotehan kita...

kawan...ingatlah itu dikala kau lupa...
kawan...jangan lupakan perseteruan antara kita
kawan...bagaimanapun...susah menlupakanmu...
kawan...aku baru tahu ternyata kita berjalan beriringan...

kawan...kita berjalan bergandengan tangan tuk melewati masa...
kawan...tangan kita erat bergandengan dengan satu kata
"SAHABAT"
kawan...terimakasih jabat erat tanganmu untuk ku...
kawan...kita satu dalam ikatan "SAHABAT"

Rama Sintha

Rama...
jemarimu mengeras, mengepal, penuh angkara
darahmu mendidih, memuncak di ubun-ubun
matamu membelalak menatap purnama
kakimu gemetar, seakan mampu menginjak Rahwana hingga ke dasar bumi

Rama...
bara api menyala berkobar di tungku hatimu
tetesan embun tlah menjadi minyak
kobaran api tlah menyulut seluruh ragamu
seolah kau mampu membumi hanguskan Tanah Alengka

Rama...
darah dan api tlah menyatu dalam jiwamu...
kini kau tlah diselimuti dendam dan angkara...
terlintas dimatamu bayang semu Dewi Sintha...
ia sedang Berbulan Madu di tanah Alengka...
ia tersenyum sinis menatapmu yang tak berdaya

Rama...
kau kesatria yang tersohor di seluruh penjuru Astina
tak dinyana hatimu sangat lapuk dan rapuh...

Rama...
cobalah kau tersenyum
cobalah kau tersenyum...
tat kala mata hatimu melihat Dewi Shinta sedang bercengkrama di balik purnama dengan Rahwana

Rama... ... ... ...

rintik hujan di kala senja

terpaku menatap deraimu yang tak berkesudahan...
melayang anganku mencoba menembus kabut putih yang menyelimutimu
mencari setitik celah yang mungkin masih kau sisakan untukku pandang
mencari ruang kosong untukku berteduh dibawah deraimu...

rintikmu seakan menari-nari...
menertawakan ketololanku yang mengharap ruang kosong,
mencari setitik celah yang mungkin tersisa
rintikmu makin menjadi, deraimu makin menghujam...

berdiri ku termangu dibawah pohon ini...
mencoba mencari ruang kosong, mencari setitik celah yang mungkin tersisa
namun, tetap basah oleh deraimu...
rupanya ruang kosong, setitik celah itu tak ada

ruang kosong dan setitik celah itu rupanya tak ada...

Sang Bulu Emas

pagi yang cerah, sepoi angin yang lembut, terik mentari yang hangat dan awan putih tipis menyelimuti kebun buah pear. Embun pagi yang masih menempel di dedaunan, enggan untuk turun ke tanah. ia menggeliat memanjakan tubuhnya, seolah enggan tuk menetes. Belalang kecil dengan mata setengan terpejam dan masih agak lengket menguap lagi lalu tertidur lagi. Jangkrik-jangkrik tak ada bunyinya, mungkin ia juga masih terlelap. Burung pipit di dalam sarang, hanya sesekali menengok belalang kecil berwajah manis yang masih terlelap. Rupanya pagi itu keberuntungan si belalang kecil, ia tak harus menjadi sarapan pagi si burung pipit. Ketupai kecil mendengur kecil di lobang kayu. Ia menjulurkan kepalanya sedikit keluar. lidahnya menjilat-jilat bibir mungilnya, mungkin ia sedang bermimpi mencicipi buah per yang sebentar lagi akan dipanen. Mulutnya yang komat-kamit mungkin sedang berdoa agar yang empunya buah pear , berbaik hati padanya dan menyisakan sebuah atau dua buah pear untuknya. Air liurnya terlihat mulai menetes. Mereka benar-benar terbuai oleh sepoi angin yanglembut, hangat sinar mentari, dan awan putih yang menyelimuti kebun pear itu. hem... kehidupan yang damai dan tenang. Si tupai kecil memicingkan matanya sebelah. Ia melirik kakaknya, belalang kecil, burung pipit, rumput, embun pagi dan semuanya yang masih lelap dan mendengur. Ia mencoba membuka kedua matanya tapi masih berat sekali. Ia pun menutup mata lagi.

sang polisi patroli rupanya sudah berkeliling dari tadi. dari satu gunung ke gunung satunya, dari satu pohon ke pohon lainnya, dari satu kebun ke kebun lainnya. ia lega semuanya berjalan lancar. ia terus mengamati ke bawah, ke pohon-pohon, ke daun-daun, semua ia amati denga ketajaman matanya. tak ada satu binatang pun yang luput dari penglihatanya meskipun ia terbang tinggi di angkasa. sesekali ia salto di awang-awang. ia sedang ceria rupanya. ia meluncur lagi dengan tenang.

sang polisi patroli dengan mendadak mengerem laju terbanya. terdengar bunyi kepakan sayap yang lumayan keras saking mendadaknya. ia mencari landasan yang nyaman di pucuk pohon. ia curiga, ketika melewati satu bukit yang seolah tak ada tanda kehidupan. tak ada kicuan burung pipit, tak ada jeritan si tupai kecil, tak ada erangan si belalang kecil tak ada tetesan embun yang biasa membasahi bulu emasnya. ia mengamati satu persatu. ia melihat si tupai besar masih mengigau, burung-burung pipit masih berdesak-desakan disarangnya.

"ha!" ia kaget ketika mendengar suara ribut dari balik pohon pear. ia beruhasa mencari tau siapa yang sedang bertengkar. rupanya dari pohon pear itulah sumber pertengkaran. si bulu emas, terpaksa harus menyelesaikan kasus itu. "hemmm.. rupanya si tupai kecil dan si burung pipit yang sedang bertengkar". ia mengintip pertengkaran itu dari balik pohon pear. dengan seksama ia mendengarkan apa yang di ucapkan mereka, agar tau apa sember pertengkarannya.

"itu untukmu, yang itu untukku"
"kok bersih punya kamu, besar punya kamu dan lebih menarik punya kamu?"
"kamu kan punya ekor yang panjang, jadi bisa kamu pakai untuk membersikan sendiri"
"akmu juga punya ekor, apa bedanya sama ekorku?"
"ekormu bulunya halus, kalau punyaku keras, nanti bisa lecet"
"ahhh... gak mau, aku mau yang itu"
"sudah jangan banyak komentar. yang penting kan rasanya, bukan bersih, besar atau menariknya"
" tukeran. aq mau punya kamu itu"
"gak bisa, tadi aku udah di pesan, aku petik yang itu, kamu yang itu. gak boleh di tukar-tukar"
"emang kenapa kalau di tukar?"
"gak bagus nantinya. kita harus terima bagian kita sendiri. kalau di kasih ini, atau itu ya udah terima"
"ahhh... gak mau...! aku mau yang itu. aku mau punya kamu!!!!"
"sssssssssssssttttttttttt,,,,,,,,,,,,! jangan teriak-teriak. nanti yang punya dengar. kita bsa di tembak"
"BIARINNNN....!!!!!! BIAR KAMU DI TEMBAK! KAMU GK MAU TUKERAN SAMA AKU"
"TUPAIIII...!!!!!!!!! JANGAN TERIAK-TERIAK!!! KAMU BODOH"
"KAMU YANG BODOH!!!"
"KAMU...!"
"KAMU...!"
"PLAAKKK!!!"

si tupai kecil dan pipit langsung jatuh tersungkur, saat bulu emas menampar kepalanya dengan sayap bajanya. si tupai kecil dan pipit ketakutan melihat paruh bulu emas yang lancip tan terlihat tajam. tupai besar, embun, daun, belalang, pipit-pipit yang lain terbangung sekaligus tercengang. mereka mengusap-usap mata. memastikan bahwa yang dilihat bukanlah mimpi.bulu emas memarahi sekaligus menasihati, si tupai kecil dan burung pipit. akhirnya mereka berdamai, bersalaman, berpelukan dan bercanda. sorak sorai terdengar meriah membahana memecah keheningan pagi yang baru saja terjadi. semua burung yang bertengger di pucuk-pucuk pohon, memberi senyum hangat untuk bulu emas, tak mau ketinggalan si bangsa tupai, belalang, semut, capung, kupu-kupu. mereka beterbangan menari mengelilingi sang Bulu Emas, embun pagi dengan cepat meneteskan tubuhnya ke blu emas. si tupai tua menghampiri ssang Bulu Emas untuk mengucapkan terimakasih. Bulu Emas menyambut dengan ramah. mereka segera memulai PESTA panen raya. tupai-tupai yang keranjingan segera mengacak-acak buah pear. ia memilih yang paling bagus, mulus, seksi dan yang paling bahenol. hahaha. burung pipit tak henti-hentinya mematuk-matuk pear dari satu pohon ke pohon lainya. SI TUPAI KECIL tlah memulai PESTA panen rayanya.

"DUAAARRR........ DUARRRR.......DUARRRR...." tak asing lagi bagi mereka untuk mengenali suara itu. ya itu, bunyi senapan angin. seketika pesta berhenti. sunyi kembali menghantui. sang Bulu Emas, mengamati gerak-gerik dua pemuda yang memegang senapan angin sambil mengincar sasaran itu. "DEG...!" jantung jantung si Bulu Emas berdetak kaget, saat mendapati dua pemuda tadi mengarahkan senapan ke dadanya.

"DUARRRRRRR............"

Si bulu Emas tertembak...
dia jatuh tapi untungnya masih bisa hinggap di ranting pohon. akhirnya ia di sembunyikan si tupai tua ke lobang kayu untuk di periksa bagian mana yang tertembak tadi.
... Lihat Selengkapnya
"haaa??" si tupai kaget dan jantungnya langsung berdetak kencang setelah melihat luka si bulu emas. saking kencangnya jantung si tupai tua berdetak. akhirnya....
"DUARRRR...." dan si tupai tua.....

hiks... hiks...hiks...
si Bulu emas menangis....
air matanya berlinang bercucuran...
ia tak tahan melihat apa yang baru saja terjadi...
si tupai kecil menitikan air mata... ia melihat kakaknya...
air mata si tupai tua pun terus berderai...

dan...
penulis bingung, sebenarnya apa yang terjadi kok pada nangis semua. aneh...
hehehe